Opini Prof. Badri Munir Sukoco : Paradoks Industri Hasil Tembakau

๐๐š๐ซ๐š๐๐จ๐ค๐ฌ ๐ˆ๐ง๐๐ฎ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข ๐‡๐š๐ฌ๐ข๐ฅ ๐“๐ž๐ฆ๐›๐š๐ค๐š๐ฎ
Badri Munir Sukoco
Guru Besar Manajemen Strategi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga

Miniseri Gadis Kretek yang tayang di Netflix dalam sebulan terakhir merajai Top 10 di 22 negara. Di Indonesia, selama 2 minggu sejak dirilis awal November ini menjadi jawara. Terlepas dari dinamika kisah percintaan segitiga dengan latar peralihan Orde Lama ke Orde Baru, miniseri ini menggambarkan ketatnya persaingan antar produsen rokok kretek di Indonesia.

Keberadaan industri hasil tembakau (IHT) telah ada sejak tahun 1700-an, dan sigaret kretek tangan (SKT) bahkan diyakini menjadi warisan budaya bangsa. Namun kajian kesehatan menunjukkan besarnya ongkos yang dikeluarkan, khususnya penyakit-penyakit yang terkait dengan pernafasan. Di sisi lain, besarnya tenaga kerja yang terlibat dan ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan cukai dari IHT meningkat, seiring membesarnya APBN yang dikelola pemerintah.

Bagaimana paradoks IHT dikelola ke depannya? Silahkan baca: https://insight.kontan.co.id/news/paradoks-industri-hasil-tembakau

Hits 147