𝐊𝐨𝐧𝐬𝐞𝐤𝐮𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐁𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚
Badri Munir Sukoco
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga
https://insight.kontan.co.id/news/konsekuensi-bangga-buatan-indonesia
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Keppres nomor 15 tahun 2021 terkait tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) 30 September lalu. Tugas berat menunggu Menko Kemaritiman dan Investasi menjadikan produk lokal sebagai tuan rumah di Indonesia. Hal ini tentu strategis bagi Indonesia, mengingat semua negara maju memiliki kebanggaan akan produk domestiknya. Dan Indonesia Maju 2045 tinggal 24 tahun lagi, dan perlu kebijakan-kebijakan strategis untuk mendukungnya.
Apa yang seharusnya dilakukan Indonesia?
𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐌𝐚𝐣𝐮
Beragam istilah digunakan untuk negara maju. IMF menyebutnya 𝑎𝑑𝑣𝑎𝑛𝑐𝑒𝑑 𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑟𝑖𝑒𝑠, UNDP menyebutnya 𝑑𝑒𝑣𝑒𝑙𝑜𝑝𝑒𝑑 𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑟𝑖𝑒𝑠, adapun 𝑊𝑜𝑟𝑙𝑑 𝐵𝑎𝑛𝑘 dengan ℎ𝑖𝑔ℎ-𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑟𝑖𝑒𝑠. Secara umum, negara maju memiliki konsensus tentang ambang batas minimum untuk PDB per kapita. Pada tahun 2020, ambang batas yang digunakan oleh Bank Dunia adalah US$12,696 (lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 1989 ketika ambang batas minimum ditetapkan). Tidak hanya ekonomi, tetapi stabilitas politik dan indikator sosial lainnya mencerminkan kondisi sebagai negara maju.
Perlu 12 tahun bagi Jepang dan Singapura untuk menjadi negara maju dan lepas dari 𝑚𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑡𝑟𝑎𝑝 (MIT). Jebakan yang menunjukkan situasi dimana ekonomi berpenghasilan menengah cenderung menghadapi pertumbuhan yang melambat dan akibatnya gagal untuk bergabung dengan klub negara maju. Sedangkan Hongkong dan Korea Selatan membutuhkan waktu 14 tahun.
Beberapa negara terjebak dalam MIT, hanya beberapa tahun masuk klub negara maju kemudian terpeleset, seperti Argentina dan Brazil. China berada di garis depan untuk keluar dari jebakan, dengan PDB per kapita US$1,500 (2020) dan butuh waktu 20 tahun sejak lebih dari US$1,000. Sementara Malaysia mengejar level yang sama (2020 – US$10,402) mulai 44 tahun lalu.
Indonesia mencapai US$3,870 pada 2020. Jika rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti 10 tahun terakhir, dibutuhkan 64 tahun bagi Indonesia untuk mencapai ambang batas minimum saat ini. Sayangnya, ambang batasnya juga bergerak, dan bisa jadi US$19,281 pada 2045 (rata-rata pertumbuhan ambang batas dalam 20 tahun terakhir). Oleh karena itu, diperlukan mobilisasi sumber daya dan perencanaan strategis guna memampukan Indonesia masuk dalam klub negara maju. Untuk melakukannya, ekonomi Indonesia perlu tumbuh lebih dari 6,4% per tahun selama 24 tahun ke depan.
𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐌𝐚𝐣𝐮
Keun Lee dalam buku terbarunya (2019) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi negara maju berkorelasi dengan pendidikan tinggi dan kemampuan inovasi. Kemampuan inovasi dikembangkan melalui sumber daya manusia (pendidikan tinggi) dan anggaran R&D. Ada pola yang jelas bahwa anggaran R&D yang lebih tinggi memungkinkan universitas untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan mengembangkan inovasi berbasis sains. Selanjutnya, berkolaborasi dengan perusahaan dapat mengembangkan produk inovatif yang dilindungi oleh paten dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Jelas, negara-negara maju memiliki anggaran R&D yang cukup besar untuk secara konsisten mengembangkan produk-produk inovatif. Dalam hal persentase, Israel (4,30%) dan Korea Selatan (4,20%) adalah dua pembelanja besar anggaran R&D dari PDB-nya. Amerika Serikat, Jepang, dan China tetap tinggi, sedangkan Indonesia hanya 0,10%. Dalam dolar, Amerika Serikat adalah pembelanja terbesar (US$491,86 miliar), diikuti oleh China (US$471,70 miliar) dan Jepang (US$154,16 miliar). Sementara Indonesia hanya US$3,11 miliar, dan hasilnya jelas bahwa permohonan paten negara-negara tersebut jauh lebih unggul dari Indonesia. Jepang memiliki permohonan paten lebih dari 7.005 kali dibandingkan dengan Indonesia, sedangkan Malaysia memiliki 90 kali dengan persentase anggaran R&D 13 kali lebih besar.
Pendidikan tinggi mempersiapkan sumber daya manusia untuk menjadi negara maju. Restorasi Meiji di Jepang mengembangkan sumber daya manusia melalui universitas kekaisaran. Universitas-universitas top ini menjadi mesin dominasi Jepang dalam inovasi berbasis sains. Dominasi IPTEK AS dan Inggris juga didukung oleh universitas-universitas ternama. Merujuk pada 𝑇𝑖𝑚𝑒𝑠 𝐻𝑖𝑔ℎ𝑒𝑟 𝐸𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑊𝑜𝑟𝑙𝑑 𝑈𝑛𝑖𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑛𝑘𝑖𝑛𝑔 yang diumumkan awal bulan ini, Amerika Serikat menempatkan 23 universitas di Top 50, sedangkan Inggris diwakili oleh 8 universitas. Singapura menempatkan 2 universitas, mirip dengan China.
Dalam 25 tahun terakhir, China secara serius mengembangkan universitasnya menjadi kelas dunia melalui 211 𝑃𝑟𝑜𝑗𝑒𝑐𝑡, 𝐶9 𝐿𝑒𝑎𝑔𝑢𝑒, dan yang terbaru 𝐷𝑜𝑢𝑏𝑙𝑒 𝐹𝑖𝑟𝑠𝑡-𝐶𝑙𝑎𝑠𝑠 𝑈𝑛𝑖𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖𝑡𝑦 𝑃𝑟𝑜𝑗𝑒𝑐𝑡. Pada Top 100, terdapat 6 universitas dari China, sedangkan Korea Selatan menempatkan 2 universitas. Universitas tertinggi dari Malaysia berada pada kisaran 301-350, sedangkan Indonesia berada pada kisaran 801-1000. Tak heran jika China memiliki aplikasi paten 122 kali lipat dibandingkan Indonesia. Energi besar dimiliki China untuk inovasi, selain memiliki SDM yang berkompeten pada PT berkelas dunia juga disertai dengan anggaran R&D China yang besar.
Memang Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2035. Namun tanpa pemroses (perguruan tinggi) berkelas dunia, kemampuan inovasi dapat diperkirakan tidak dapat mendukung Indonesia menjadi negara maju.
𝐑𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢
Pemimpin Indonesia perlu menetapkan kebijakan-kebijakan strategis yang memampukan kita menghasilkan produk-produk inovatif karya anak bangsa. Hal ini diawali dengan memahami realita bahwa anggaran R&D kita jauh di bawah standar negara maju. Selanjutnya, perguruan tinggi Indonesia sebagai 𝑒𝑛𝑎𝑏𝑙𝑒𝑟 kapabilitas inovasi, pemasok kelas kreatif, dan inovasi berbasis sains, perlu didukung penuh. Diperlukan rencana strategis yang matang dengan anggaran khusus untuk merealisasikan Indonesia negara maju tahun 2045.